Koranremaja.com Beberapa hari lalu, menyambut bulan
puasa, BBC menayangkan sebuah program menarik: bagaimana pemain muslim
perlahan ikut mengubah wajah Liga Primer Inggris.
Data resmi meyebutkan setidaknya 40 pemain di Liga Primer menyebut
diri mereka Islam. Masih belum luar biasa dari segi jumlah -- kurang 10
persen dari keseluruhan 540 pemain dari 20 klub yang terdaftar di Liga
Primer. Meski sedikit dari segi jumlah, tapi dampaknya tak bisa
diabaikan. Demikian kira-kira pesan dokumenter BBC tersebut.
Contoh
pengaruh itu bertebaran. Misalnya, Liverpool hanya menyediakan ayam
halal untuk dikonsumsi para pemain di musim latihan, karena baik yang
muslim maupun bukan, sama-sama bisa mengonsumsinya; Newcastle
menyediakan musola di St James Park; Arsenal memberi waktu luang bagi
pemain yang ingin menjalankan sholat.
Tidak terbatas pada tiga
klub itu saja tentunya, hampir semua klub yang memiliki pemain muslim
memberikan konsesinya masing-masing agar mereka bisa semaksimal mungkin
menjalankan kewajiban. Toh prinsipnya bagi klub-klub ini, kalau pemain
senang, maka kerja mereka akan maksimal, dan klub juga yang akan meraih
keuntungan.
Walau sifatnya masih semi resmi, bahkan ada kursus
bagi para calon pelatih untuk memahami ritual seperti puasa dan sholat
yang harus dijalani pemain muslim. Tujuannya sederhana, agar potensi
konflik bisa dikurangi dan keseimbangan yang mutualistis bisa dicapai.
Bank
Barclays sebagai sponsor Liga Primer bahkan tidak lagi memberi sampanye
bagi mereka yang dipilih menjadi man of the match. Tidak untuk pemain
muslim maupun non-muslim.
Awal sebabnya sederhana. Yaya Toure
pernah dengan sopan menolak pemberian sampanye itu dengan mengatakan
dirinya muslim dan tidak minum alkohol. Sialnya, pemain sekaliber Yaya
seringkali menjadi man of the match. Begitupun dengan beberapa pemain
muslim lain. Karenanya diputuskan, untuk tidak mempermalukan kedua belah
pihak lebih baik sampanye diganti semacam trofi, karena ternyata pemain
non-muslim juga tak keberatan sama sekali dengan pergantian itu.
Klik video
di siniBahkan
konon perayaan kemenangan di ruang ganti pemain, lengkap dengan
semburan sampanye, dilakukan setelah pakaian para pemain muslim
disingkirkan terlebih dahulu supaya tidak terkena percikan minuman
beralkohol itu.
Dengan banyaknya pesepakbola muslim, para pemain
yang dikenal atau dianggap insular -- tak peduli dengan kehidupan lain
di luar sepakbola --, menjadi sedikit banyak mengerti apa itu Islam dan
hal-hal yang terkait dengan ajaran itu.
Pengaruhnya tidak sebatas
di kalangan administrator klub dan liga saja, tetapi juga di kalangan
penonton dan suporter. Misalnya pendukung Newcastle punya lagu pujaan
khas untuk Demba Ba, sewaktu ia masih bermain di sana, yang mengaitkan
kemampuannya mencetak gol dengan bulan Ramadan. Ba dikenal sebagai salah
satu pemain yang selalu berpuasa, tak peduli apakah itu hari latihan
dan pertandingan. Kalau sebelumnya penggemar Newcastle tidak tahu sama
sekali apa itu Islam dan apa yang terjadi selama Ramadan, pemahaman
mereka dengan adanya lagu itu tidak akan lagi nol sama sekali.
Anak-anak
pendukung Newcastle, serta siapapun yang suka dengan Ba dan Papis Cisse
-- yang juga seorang muslim yang taat, banyak meniru perayaan gol
mereka dengan bersujud syukur (di atas lapangan). Tentu anak-anak itu
tidak paham sama sekali mengapa Ba dan Cisse melakukannya. Tetapi sekali
lagi, ada dimensi kehidupan lain yang mulai menyusup tanpa disadari
bahkan sejak kanak-kanak.
Apa
yang saya tulis di atas sebenarnya tak lebih dari ringkasan dari
program dokumenter yang saya lihat itu. Tetapi saya ingin berbagi, bukan
karena persoalan Islam, muslim ataupun persoalan kegamaan karena
kebetulan bulan Ramadan.
Program dokumenter itu mengingatkan akan
sebuah mata kuliah yang pernah saya ikuti nun seperempat abad yang
lewat. Sebuah mata kuliah yang membahas hubungan antara apa yang disebut
centre (pusat) dengan periphery (pinggiran).
Maafkan kalau
terkesan menggurui dan sok ilmiah dalam memahami film dokumenter itu.
Tetapi bagi Anda yang belajar imu politik, sosial atau kebudayaan
pastilah pernah mendengar persoalan ini. Inti pembahasannya sederhana
saja, mengenai bagaimana dalam dunia yang semakin saling terkait ini
terjadi sebuah arus balik di mana berbagai ide, pergolakan kehidupan dan
kebiasaan yang terjadi di wilayah-wilayah yang disebut pinggiran ikut
mempengaruhi dan membentuk tata kehidupan yang ada di kawasan yang
disebut pusat-pusat peradaban. Merombak adagium bahwa pusatlah yang
selalu mempengaruhi pinggiran.
Di bidang musik, drama,
kesusastraan dan filsafat -- yang saya sedikit mengerti karena
ketertarikan pribadi -- hal ini sangat jamak terjadi. Tidak karena
dirancang (by design), tetapi terjadi secara organik (alami) mungkin
karena sifat empat bidang itu yang selalu mencoba melakukan ekspansi,
mencari elemen baru, mencari pemahaman yang utuh akan kehidupan.
Anda
yang menekuni bidang lain, seperti politik dan ekonomi, pasti juga akan
dengan mudah menunjukkan unsur-unsur hubungan pusat dan pinggiran ini.
Di
sinilah film dokumenter BBC itu menjadi menyenangkan buat saya. Ia
dengan sangat mudah dipahami untuk memberi gambaran aplikasi praktis
yang gamblang akan teori hubungan pusat dan pinggiran. Mungkin karena
prosesnya bisa kita lihat dengan mata wadak. Perubahan-perubahan terjadi
nyata di hadapan mata. Bagaimana kebiasaan dan keyakinan pemain bola
muslim (yang tentu saja datang dari pinggiran) ikut membentuk perwajahan
pengelolaan persepakbolaan Inggris (pusat).
Di dunia sepakbola
persoalan pusat dan pinggiran ini sebenarnya bukanlah hal baru. Tentu
saja tidak harus dalam konteks semacam hubungan seperti pemain muslim
dan kehidupan mereka di Liga Primer. Tekanannya adalah bahwa interaksi,
dialog dan pertukaran ide selalu saja terjadi, dan tidak terlalu rumit
untuk dirunut.
Saya
tidak perlu bercerita tentang hubungan Eropa dengan negara-negara
Amerika Latin seperti Brasil dan Argentina, misalnya. (Walau banyak yang
menganggap Brasil dan Argentina sudah menjadi pusat tersendiri, tetapi
kita tahu betapa pemain dari kedua negara ini harus menyeberang dan
menaklukkan Eropa kalau ingin dinggap menaklukkan dunia). Sudah banyak
sekali pembahasan baik dalam bentuk buku, artikel ataupun film
dokumenter mengenai pengaruh dan ide permainan yang datang dari kedua
negara ini ke Eropa. Penghormatan akan individualitas, kemerdekaan
berpikir (bermain) dan improvisasi menjadi mapan di Eropa, saya kira
karena pengaruh yang sangat kuat dari kedua negara Amerika Latin ini.
Afrika
belakangan menawarkan dimensi fisik dalam permainan sepakbola di Eropa.
Klub-klub sepakbola Eropa menyerap bakat-bakat dari Afrika (ataupun
keturunan Afrika di Eropa) dengan anugerah fisik di atas rata-rata.
Tidak harus selalu tinggi besar, tetapi terkadang keliatan tubuh yang
nyaris sempurna.
Perhatikan bagaimana konsep permainan dengan
menggunakan keberadaan seorang destroyer permainan, buldozer, tukang
pikul air ataupun istilah semacam menjadi populer, bukan karena
sebelumnya tidak ada, tetapi seiring dengan semakin banyaknya pemain
keturunan Afrika. Peran itu sekarang tidak harus dimainkan oleh mereka
yang berasal dari Afrika, tapi pernah suatu ketika seperti menjadi hak
eksklusif mereka. Evolusi juga terjadi dari para pemain Afrika ini, yang
kalau dulu lebih sering berada di tengah, belakangan bisa di depan
ataupun di jantung pertahanan.
Saya pernah membayangkan bahwa
suatu saat, cepat atau lambat, Asia juga akan menyumbangkan argumentasi
permainan untuk ditawarkan ke panggung persepakbolaan di pusat (Eropa)
ini. Dan itu benar terjadi. Tetapi kalau saya pernah berharap Indonesia
sebagai sebuah negara yang besar dan gila bola itu akan menjadi salah
satu eksponennya, saya salah total.
Jepang, yang belajar bola
jauh sesudah Indonesia, dan Korea yang rupanya mengambil obor dari Asia
untuk dibawa ke pusat. Terus terang saya tidak tahu apa yang sebenarnya
mereka tawarkan. Mungkin kemampuan untuk memahami kolektivitas
permainan. Mungkin kemampuan menempatkan diri dalam sistem permainan
apapun yang dimaui pelatih. Mungkin juga ketekunan, atau mungkin pembaca
lebih bisa mengerti apa sebenarnya ditawarkan oleh pemain Asia yang di
wakili kedua negara itu.
Saya hanya bisa dengan sangat sedih
melihat kenyataan, Indonesia menjadi negara pinggiran yang insignificant
(tidak penting). Tidak mampu bersuara, tidak mampu menyumbang gagasan,
tidak mampu menyumbang pemain. Padahal sejarah sepakbola di Indonesia
ini begitu panjang. Teramat panjang.